Friday, June 19, 2015

Kaca Spion by Andy F Noya

Lagi beres-beres inbox imel gw yang udah bertahun-tahun ga diberesin, tetiba liat imel dari seorang sahabat yang isinya sebuah artikel yang menurut gw, bagus. Rasanya sayang kalo cuma mengendap di imel gw aja. Mending diposting dimari, buat bahan renungan gw juga.

---------------

Kaca Spion

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana. Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan.
Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?

Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah. 

Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana. Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta. Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi.

Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia. Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.

Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut.

Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan
punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya.

Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. 

Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah. Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu.

Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya. Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya.

Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan hidup sebulan.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang.

Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi? Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. 

Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya. Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari.

Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, Saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan,"Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras."

Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong. Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalamkehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang.

Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. 

Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul. Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.


Thursday, June 11, 2015

Tes Psikopat

Trying this test while watching Castle season 7, the result is..... 😑🔪
Too much thriller movie, I think.

-------

Sudahkah Anda mencoba tes ini?

[Hasil tes saya]

Tes Psikopat - 80 Poin : Seseorang  yang menyeramkan tinggal di dalam pikiran Anda!

Anda memiliki tingkat kecenderungan untuk menjadi psikopat yang cukup tinggi.

- Pertanyaan pertama mengenai cermin: Saat melihat cermin, orang biasa akan berpikir tentang kekurangan pada dirinya sendiri seperti "Tidak enak dilihat.." , akan tetapi seorang psikopat akan mencari penyebab suatu masalah di luar dirinya sendiri seperti melihat kotoran di kaca sebagai penyebab ketidak-puasannya.

- Pertanyaan kedua mengenai potret: Dalam pertanyaan mengenai potret, orang biasa dan seorang psikopat berbeda dengan psikopat akan menjawab mata atau jantung. Biasanya orang akan menjawab luka yang mereka pernah lihat di dalam film.

-Pertanyaan ketiga mengenai rumah musim panas di tengah hutan gelap: Dalam pertanyaan mengenai apa yang melintas di dalam hutan gelap, 97% memilih binatang liar, daun, atau hantu. Hanya 3% dari populasi memilih "Anjing". Seorang kriminal biasanya memilih 'Lawan Jenis' yang adalah sasaran untuk tindak kejahatan mereka, dan mereka yang diperkirakan adalah psikopat cenderung memilih 'Anjing' yang dapat mengganggu mereka di tempat kejadian perkara.

- Pertanyaan keempat mengenai mesin penjual otomatis: Biasanya orang akan memilih warna yang sesuai dengan keadaan hatinya saat menjawab pertanyaan mengenai mesin penjual otomatis. Seorang psikopat yang tidak dapat merasakan emosi akan memilih warna bening.

- Pertanyaan kelima mengenai pembunuh: Seorang psikopat akan berpikir untuk bersembunyi di belakang pintu sehingga ia dapat mengambil pisau dari pembunuh tersebut dan menyerangnya.

- Pertanyaan keenam mengenai pisau: Biasanya saat seseorang membeli pisau untuk membunuh orang lain, orang tersebut akan membeli pisau yang mahal atau tidak mempedulikan harga sama sekali. Akan tetapi, beberapa psikopat akan memilih untuk membeli pisau yang lebih murah untuk membunuh orang tersebut lebih lama dan dengan penuh penderitaan.

Apakah tes ini menyenangkan? Silahkan berbagi melalui SNS untuk mengetahui hasil yang teman-teman Anda dapatkan.

Silakan klik disini untuk cari tau apakah kamu psikopat atau bukan ;)

Sekolah buat Anakicik

Anakicik ini sekarang sudah 2 tahun 5 bulan, gw sudah mulai gatel pengen nyekolahin anak ini. Sekolah bukan dalam arti belajar membaca dan berhitung ya, tapi lebih ke sosialisasi sama anak-anak seusianya. Anak ini kan ngomongnya masih bahasa suka-suka-dia-sendiri, jadi harapan gw sih dengan ke sekolah dan ketemu teman, dia jadi bisa ngomong dan lebih mandiri.

Untuk beberapa minggu ini gw mulai cari-cari info soal sekolah untuk anak 2 tahun di sini. Susah yaaa, secara di kampung hueheheh.. Ada sih PAUD atau Kelompok Bermain, tapi gw tanya-tanya ya mereka belajar juga ya pake buku. Pengennya sih cari yang berbasis montessori. Gw lagi tertarik banget sama montessori nih. Akan gw bahas di postingan lain aja yak! Balik lagi ke mencari-cari sekolah. Ada satu sekolahan yang gw incer karena sekolahannya bilingual dan sedikit berbasis montessori, dan yang paling penting sekolahan ini tidak membuat anak stress (kata kepala sekolahnya). Tapiiiii... Biaya uang masuknya sebesar Rp 5.000.000 (registrasi, seragam, dan keperluan anak selama setahun), bulanannya 500rb. Mayan mahal yaaa.. Udah gitu ini sebenernya buat 3 tahun, jadi klo ada anak 2 tahun masuk nanti harus ngulang lagi PG-nya. Hmmmm.. Mending ke deket rumah aja deh murah.

Nah, yang deket rumah ini KOBER alias Kelompok Bermain. Pas bulan Desember tahun kemarin iseng maen kesana sih namanya masih PG dan ga nerima anak 2 tahun. Minggu kemarin kesana karena iseng juga, ternyata berubah jadi KOBER dan bisa buat anak 2 tahun. Biayanya murah pula, uang masuknya Rp 1.100.000 (termasuk seragam dan buku), biaya per bulannya 80 rb saja. Murah kaaan? Tapi ya itu, walau kegiatan utamanya katanya sih hanya bermain, tapi tetep ada buku untuk mengenal huruf dan angka. Waktu sekolah untuk KOBER pun panjang, dari jam 7.30 - 10.00 WIB. Ga bakal bosen gitu anak 2 tahun ini? Udah gitu di sini di TK-Bnya diajarin baca dan berhitung karena permintaan SD-SD di sini yang mengharuskan calon-calon muridnya bisa baca dan berhitung. Aduuuh..gw koq ga sepaham ya sama sekolah yang kaya gini. Hueheheh..

Tadi pagi sebelum ke kantor, nemulah satu sekolahan baru dan satu-satunya yang berbasis montessori. Tempatnya di ruko tapi karena masih baru dan  ga banyak furniture jadi keliatan bagus dan luas sih, hohoho.. Biaya masuknya Rp 2.000.000 dan bulanannya 300rb. Dan untuk anak 2 tahun diwajibkan ada didampingi orang tuanya. Waktu belajarnya juga cuma 1,5 jam. Dan terpenting, berbasis montessori. Ah, jadi pengen masukin Jonjon kesini. Mana buat 20 pendaftar pertama diskon Rp 1.000.000 buat biaya masuknya. Lumayan kaaaan? *emak2modaldiskonan*

Ya tapi ya, gw nyari-nyari sekolahan gini belum tentu juga bapake setuju. Bapake belum mau anaknya disekolahin, katanya masih terlalu kecil. Tapi sayang, bukan sekolah koq ini mah, tapi bermain bersama temen-temen seusianya, bersosialisasi. Boleh yah, yah, yaaaaah? *pasangtampangmemelas*